Praktik saat ini mengatur outsourcing dalam batasan yang ketat, hanya diperbolehkan untuk jenis pekerjaan tertentu seperti layanan keamanan, kebersihan, katering, pengemudi, dan pertambangan, sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tentu saja, penghapusan praktik ini tidak bisa dijalankan sepihak dan perlu analisis mendalam oleh pihak-pihak terkait. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengingatkan bahwa setiap langkah harus mempertimbangkan regulasi yang berlaku dan melibatkan partisipasi aktif dari semua pihak, baik pekerja maupun pengusaha.
Menariknya, meskipun ada penolakan, Mahkamah Konstitusi juga telah memutuskan bahwa sistem alih daya sah secara konstitusional, menyisakan dilema bagi pemerintah dalam mengambil sikap. Dengan kondisi pasar kerja yang masih rentan, di mana fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal masih terjadi, dikhawatirkan langkah penghapusan outsourcing ini justru menambah angka pengangguran.
Kekhawatiran pekerja terhadap ketidakpastian status kerja dan besaran upah yang rendah, juga menjadi faktor penting yang harus dievaluasi sebelum mengambil keputusan. Dalam konteks ini, diharapkan pemerintah mampu merumuskan peraturan baru yang mampu memberikan perlindungan sekaligus menjawab keresahan pekerja terkait dengan keberadaan tenaga alih daya. Hal ini sangat penting untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi para pekerja di sektor yang berisiko tinggi di-PHK.