Pada bulan Februari lalu, tagar #IndonesiaGelap menjadi viral di media sosial, berawal dari penjelasan pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi. Ia menjabarkan bahwa fenomena ini dipicu oleh krisis kelangkaan gas elpiji (LPG) bersubsidi yang terjadi baru-baru ini. Krisis ini tidak hanya menciptakan antrean panjang untuk mendapatkan gas melon berukuran 3 kilogram, tetapi juga memicu reaksi yang cukup besar dari masyarakat.
Kondisi ini mengundang perhatian publik, terutama kalangan ibu rumah tangga yang harus menghadapi kesulitan mendapatkan pasokan gas tersebut. Mahasiswa pun turun ke jalan, sembari netizen berbondong-bondong menyuarakan kegundahan mereka melalui platform media sosial, terutama di X (yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter). Berbagai sindiran pun muncul, mencerminkan simbol-simbol negara yang tampak absen saat rakyat dihadapkan pada kesulitan seperti ini.
“Tagar Indonesia Gelap muncul dengan cara yang sangat organik, dengan pemicu awal kelangkaan gas. Ini menciptakan situasi kuat yang melahirkan tagar baru yang dilambangkan dengan warna gelap dan simbol Garuda. Tagar ini mencerminkan keraguan dan kebingungan yang dirasakan masyarakat,” ungkap Fahmi dalam sebuah podcast di Youtube yang dipandu oleh Prof Rhenald Kasali dengan tema 'Benang Kusut Korupsi Pertamina, Danantara Aman?'. Tagar tersebut bukan sekadar tren semu di ruang digital, melainkan representasi dari akumulasi perasaan frustrasi mendalam masyarakat, kekecewaan terhadap situasi yang tidak kunjung membaik, dan pandangan bahwa kebijakan pemerintah kerap tidak berpihak pada masyarakat kecil.
Keberadaan tagar ini menciptakan simbol persatuan di antara berbagai isu yang tengah dihadapi, menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk merasakan dan mengekspresikan ketidakpuasan kolektif mereka dalam bentuk yang sederhana namun bermakna. “Cukup dengan satu tagar, Indonesia Gelap, maknanya sudah sangat kuat,” tambahnya.