Dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia, muncul kabar yang membawa harapan sekaligus kecemasan terkait kebijakan penghapusan tenaga alih daya atau outsourcing yang dinyatakan oleh Presiden Prabowo Subianto. Pernyataan ini disampaikan dalam kesempatan peringatan May Day 2025 di Monas, Jakarta, tepatnya pada tanggal 1 Mei 2025. Wacana ini ternyata memicu beragam reaksi dari berbagai kalangan, tergantung sudut pandang masing-masing.
Bagi serikat pekerja, penghapusan outsourcing adalah langkah positif yang telah lama diperjuangkan. Mereka beranggapan bahwa praktik ini telah menciptakan bentuk 'perbudakan' modern yang merugikan hak-hak dasar pekerja. Pada posisi ini, organisasi seperti Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPEK Indonesia), yang diwakili oleh Mirah Sumirat, menilai bahwa mekanisme alih daya melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Di sisi lain, pengusaha dan dunia usaha menganggap penghapusan sistem ini sebagai ancaman yang potensi memicu pemutusan hubungan kerja secara massal. Sekretaris Jenderal Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sarman Simanjorang, menegaskan bahwa penghapusan tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebab, di beberapa sektor, keberadaan tenaga alih daya sangat dibutuhkan. Ia juga menekankan bahwa keputusan semacam ini harus didasari pada diskusi yang matang agar tidak mengurangi kesempatan kerja bagi masyarakat yang sudah terseok-seok dengan isu pengangguran.