Dunia eSports kini jadi industri raksasa. Jutaan pasang mata menyaksikan turnamen berhadiah miliaran, dan para pemain profesional dielu-elukan layaknya bintang olahraga. Gemerlapnya memang memukau, menjanjikan karier impian bagi banyak gamer. Namun, di balik panggung megah dan sorotan kamera, ada sisi gelap yang jarang terungkap: tekanan luar biasa, lingkungan yang penuh toxicity, dan dampaknya yang serius pada kesehatan mental para atlet eSports. Ini bukan lagi sekadar bermain game, ini adalah arena kompetisi brutal dengan konsekuensi nyata.
Tekanan Berlipat Ganda dari Berbagai Arah
Seorang atlet eSports profesional menghadapi tekanan yang jauh melebihi apa yang terlihat. Pertama, ada tekanan performa. Mereka dituntut untuk selalu tampil prima, konsisten di level tertinggi, dan memenangkan setiap pertandingan. Satu kesalahan kecil saja bisa berakibat kekalahan tim, yang berarti hilangnya kesempatan juara dan hadiah besar. Ini belum ditambah beban ekspektasi dari tim, sponsor, dan jutaan penggemar yang menonton. Kekalahan bisa berarti kehilangan dukungan finansial, atau bahkan dicoret dari tim.
Kedua, ada tekanan waktu dan latihan ekstrem. Latihan bukan lagi sekadar hobi. Seorang atlet eSports bisa menghabiskan 10-14 jam sehari di depan layar, berlatih, menganalisis strategi, dan bertanding. Jadwal yang padat ini seringkali mengorbankan waktu istirahat, interaksi sosial di luar game, bahkan pendidikan. Gaya hidup menetap dengan jam kerja yang tidak manusiawi ini secara fisik melelahkan dan mental menguras tenaga.