Jumlah perusahaan bangkrut di Jepang meningkat tajam pada tahun 2024, mencapai angka 10.006 kasus. Angka ini mencatatkan kenaikan sebesar 15,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sekaligus menjadi peningkatan selama tiga tahun berturut-turut. Data ini diperoleh dari laporan perusahaan riset kredit Tokyo Shoko Research, seperti dikutip dari Kyodo News, Rabu (15/1/2025).
Salah satu faktor utama di balik lonjakan kebangkrutan ini adalah berakhirnya program penangguhan pajak yang diterapkan setelah pandemi Covid-19. Program tersebut sebelumnya membantu banyak perusahaan kecil dan menengah di Jepang untuk bertahan di tengah krisis ekonomi. Namun, setelah subsidi ini dihentikan, banyak perusahaan mulai menghadapi kesulitan keuangan yang berujung pada kebangkrutan.
Tidak hanya itu, beberapa faktor eksternal turut memperburuk situasi. Kenaikan harga barang impor yang disebabkan oleh pelemahan nilai tukar yen semakin menekan kondisi finansial perusahaan. Ditambah lagi, kurangnya tenaga kerja di berbagai sektor membuat operasional perusahaan menjadi tidak efisien, sehingga menambah beban pengeluaran mereka.
Menurut Tokyo Shoko Research, sebagian besar perusahaan yang bangkrut adalah usaha kecil dan menengah. Sektor-sektor seperti ritel, manufaktur, dan layanan makanan menjadi yang paling terpukul. Biaya operasional yang meningkat tajam tidak sebanding dengan pendapatan yang stagnan atau bahkan menurun.