Musik, sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya, memiliki kekuatan luar biasa untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan manusia. Sejak zaman dahulu, otoritarianisme telah memanfaatkan seni, termasuk musik, untuk memperkuat ideologi dan kontrol negara. Dari rezim Nazi di Jerman hingga pemerintahan modern yang mengekang kebebasan, manipulasi budaya melalui musik menjadi salah satu strategi untuk mempertahankan kekuasaan.
Rezim Nazi di Jerman adalah salah satu contoh paling mencolok tentang bagaimana musik digunakan sebagai alat propaganda. Pemerintah Adolf Hitler memahami bahwa musik dapat membangkitkan emosi, membangun solidaritas, dan menyebarkan ideologi. Musik klasik, khususnya karya-karya komposer Jerman seperti Richard Wagner, menjadi sangat populer karena dianggap mencerminkan "jiwa" bangsa. Dalam konteks ini, musik otoriter berfungsi untuk menciptakan identitas kolektif dan meredakan kritik terhadap rezim. Penggunaan lagu-lagu kebangsaan yang bombastis dan pawai yang megah menambah nuansa menyebalkan dari kesetiaan terhadap negara.
Tak hanya di Eropa, penggunaan musik untuk kontrol negara juga terjadi di berbagai belahan dunia. Di negara-negara komunis seperti Uni Soviet, musik telah diatur sedemikian rupa untuk merepresentasikan nilai-nilai partai. Seniman yang menolak untuk mematuhi norma-norma yang ditetapkan dapat menghadapi konsekuensi keras, mulai dari penjara hingga pengusiran. Manipulasi budaya di sini bukan hanya tentang musik, tetapi juga menciptakan narasi sejarah yang seragam dan menghilangkan varian yang tidak sesuai dengan pandangan resmi.