Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengenai pemerkosaan massal yang terjadi pada Mei 1998 telah memicu kontroversi dan reaksi keras dari berbagai pihak. Fadli Zon dianggap meragukan kebenaran peristiwa tersebut, yang secara historis menjadi bagian penting dalam catatan kelam sejarah Indonesia. Dalam pernyataan itu, ia meminta agar istilah "pemerkosaan massal" digunakan dengan hati-hati demi menjaga akurasi sejarah dan berargumen bahwa minimnya data kuat seharusnya menjadi pertimbangan dalam membahas isu yang sangat sensitif ini.
Fadli Zon mengungkapkan bahwa ada kebutuhan untuk lebih banyak data dan analisis yang mendalam sebelum menyimpulkan mengenai pemerkosaan yang terjadi di tengah kerusuhan politik pada waktu itu. Meskipun niatnya mungkin untuk menjaga akurasi sejarah, banyak yang melihat pernyataannya sebagai upaya untuk meremehkan peristiwa tragis yang dialami oleh banyak perempuan selama Mei 1998. Kritikan pun berdatangan baik dari masyarakat sipil, aktivis, hingga sejarawan yang menekankan pentingnya pengakuan atas penderitaan para korban.
Dalam menghadapi kritik tersebut, Istana pun buka suara. Kepala Kantor Kepresidenan, Hasan Nasbi, memberikan tanggapan resmi yang menyatakan bahwa sebaiknya biarkan para sejarawan yang menulis sejarah dengan kredibel. Hasan menegaskan pentingnya untuk tidak terjebak dalam spekulasi atau perdebatan liar di media sosial. Menurutnya, sejarah harus ditulis dengan pendalaman dan pengumpulan bukti yang memadai, bukan hanya berdasarkan opini pribadi yang bisa memicu ketidakpahaman dan kontroversi lebih lanjut.