Dalam kasus Joko, situasi semakin kompleks ketika perusahaan tersebut menggunakan alat negara untuk menekan tuntutan hukum. Ia dituduh melakukan pemanfaatan lahan secara ilegal, meskipun lahan itu sudah dikelola oleh keluarganya selama puluhan tahun. Tuduhan ini jelas bertentangan dengan kenyataan dan mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk meminggirkan petani dari lahan yang telah mereka garap. Perampasan lahan yang terjadi di Indonesia sering kali disertai dengan intimidasi, pemaksaan, dan bahkan kekerasan, yang semakin memperburuk situasi.
Dari kejadian ini, terlihat bahwa konflik agraria di Indonesia bukan hanya sekedar masalah hukum, tetapi juga melibatkan aspek sosial dan kemanusiaan. Masyarakat desa yang bergantung pada pertanian sering kali menjadi korban dalam kompetisi antara kepentingan korporasi dan hak-hak petani. Sementara Joko berjuang di balik jeruji besi, para pemimpin masyarakat berusaha untuk mengadvokasi hak-hak petani agar lebih diperhatikan. Keterlibatan organisasi masyarakat sipil juga semakin meningkat, berupaya memfasilitasi dialog antara petani dan pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan sengketa agraria secara damai.
Di sinilah pentingnya kesadaran akan isu hak atas tanah dan perlindungan hak-hak petani. Kesadaran ini harus terus digaungkan di kalangan masyarakat umum agar kasus-kasus seperti yang dialami Joko tidak terulang. Ketika petani terpaksa menghadapi ancaman kriminalisasi akibat mempertahankan hak atas lahan, kita semua perlu bertanya: siapa yang benar-benar dilindungi oleh hukum yang ada? Dalam banyak kasus, keadilan tampaknya hanya menjadi milik mereka yang memiliki kekuasaan dan sumber daya.