Tampang.com | Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berlangsung dengan sangat cepat, hampir tanpa perdebatan publik yang mendalam. Dalam hitungan minggu, aturan yang memungkinkan perwira aktif TNI menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun lebih dulu telah resmi disahkan.
Cepatnya proses legislasi ini bukan hanya soal efisiensi kerja parlemen, tetapi juga mencerminkan ujian besar bagi demokrasi Indonesia. Apakah revisi ini benar-benar berdasarkan kebutuhan negara yang mendesak, atau ada kepentingan tertentu yang sedang diakomodasi?
Kembali ke Dwifungsi Militer?
Reformasi 1998 membawa pesan kuat: supremasi sipil harus dijaga, dan militer tidak boleh lagi memiliki peran ganda dalam politik dan pemerintahan. Namun, revisi UU TNI ini justru membuka kembali ruang bagi militer untuk memasuki ranah sipil.
Kini, perwira aktif TNI dapat menempati posisi strategis di lembaga-lembaga sipil, termasuk kementerian dan institusi hukum. Langkah ini bertentangan dengan semangat reformasi yang selama dua dekade terakhir berusaha menata ulang hubungan sipil-militer secara lebih proporsional. Jika batas antara militer dan sipil kabur, maka kita bisa melihat kembalinya konsep "dwifungsi" militer dalam bentuk baru.