Dalam laporan PBB pada 2024, disebutkan bahwa penurunan volume air tawar berpotensi menyebabkan kelaparan, konflik kekerasan, kemiskinan, hingga penyakit karena membuat penduduk terpaksa mengonsumsi air dari sumber yang terkontaminasi.
Data "lenyapnya" air tawar di Bumi dikumpulkan peneliti lewat observasi menggunakan satelit Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) yang dikelola bersama oleh German Aerospace Center, German Research Centre for Geosciences, dan NASA.
GRACE mengukur fluktuasi gravitasi Bumi setiap bulan dengan memantau perubahan massa air di atas dan bawah permukaan Bumi.
Penurunan volume air tawar dimulai dengan kekeringan luas di wilayah Brasil bagian utara dan tengah, diikuti oleh kekeringan di wilayah Australasia, Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, dan Afrika. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena krisis air tidak hanya terjadi pada wilayah tertentu, tetapi merata di berbagai belahan dunia.
Pada saat yang bersamaan, kenaikan suhu air laut di wilayah Pasifik antara 2014-2016 menimbulkan peristiwa El Nino paling berdampak sejak 1950-an sehingga mengubah pola pergerakan angin, cuaca, dan hujan di seluruh dunia.
Setelah dampak "kering" dari El Nino mulai mereda, volume air tawar secara global tidak pulih. Hal ini mengindikasikan bahwa dampak dari perubahan iklim dapat mempengaruhi ketersediaan air di berbagai wilayah dunia.