Dalam konteks ini, Ia menegaskan bahwa pemerintah sangat serius dalam mendukung pemberian bantuan hari raya untuk para pengemudi. Dia juga mengajak semua mitra, stakeholder, dan kementerian lain yang memiliki akses data untuk bersama-sama memperkuat sistem data terkait. "Data yang akurat menjadi kunci, karena besaran bantuan untuk pengemudi aktif pastinya akan berbeda dengan mereka yang hanya bekerja sebagai sampingan," ujarnya.
Sampai saat ini, Kemnaker dan perusahaan aplikasi digital terus menjalin komunikasi untuk merumuskan formula besaran bantuan THR tersebut. "Proses mencari formula yang tepat ini tidak mudah, terutama karena data yang belum pasti dan adanya perbedaan aktivasi di antara pengemudi. Ini semua masih dalam pembahasan dan kami akan berdiskusi lebih lanjut minggu depan," jelasnya.
Di tengah perkembangan ini, Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) tidak tinggal diam. Dalam pertemuan dengan pihak Kemnaker, SPAI menyatakan komitmennya untuk mengawal kebijakan terkait THR bagi pengemudi ojol, taksol, dan kurir. Ketua SPAI, Lily Pujiati, menuntut agar perusahaan platform diwajibkan membayarkan THR dalam bentuk tunai. "Kami menolak jika THR hanya menjadi sekadar imbauan. Bentuk THR yang kami inginkan adalah dalam bentuk tunai, bukan barang atau bingkisan," tegasnya.
Lily juga menegaskan pentingnya perbedaan antara THR yang bersifat wajib dibayarkan dan yang bersifat imbauan. THR harus diakui sebagai hak semua pekerja, termasuk pengemudi yang aktif maupun tidak aktif. “Bahkan mereka yang sudah mengalami pemutusan hubungan kerja atau yang disebut Putus Mitra (PM) juga berhak mendapatkan THR,” jelasnya.
Dia menambahkan, situasi saat ini di mana harga kebutuhan pokok terus merangkak naik semakin memperkuat urgensi THR bagi pengemudi. "Momen Ramadan adalah saat di mana pengemudi memerlukan persiapan ekstra untuk memenuhi kebutuhan selama lebaran," imbuhnya.