Amerika Serikat (AS) memiliki potensi untuk kembali mendapatkan seorang perempuan sebagai kandidat calon presiden, setelah Hillary Clinton, yang menjadi calon presiden AS pertama pada tahun pemilu 2016. Peluang ini muncul setelah petahana Joe Biden mundur sebagai kandidat dalam pemilihan presiden (pilpres) yang dijadwalkan pada November mendatang. Wakil Presiden Kamala Harris disebut-sebut sebagai alternatif utama untuk menggantikan posisi Biden dari kursi capres AS dari partai Demokrat.
Biden sendiri telah menyatakan dukungannya untuk Kamala Harris. Selain Kamala, terdapat pula nama-nama kandidat lainnya seperti gubernur Demokrat seperti Gavin Newsom dari California, Gretchen Whitmer dari Michigan, dan Josh Shapiro dari Pennsylvania. Nama-nama tersebut dianggap kuat untuk bersaing dalam konvensi di Chicago pada 19-22 Agustus 2024. Dari beberapa nama tersebut, perempuan seperti Kamala dan Gretchen memiliki peluang besar untuk maju dari Partai Demokrat pada pilpres November mendatang.
Kamala Harris adalah wanita pertama orang kulit hitam atau orang keturunan Asia Selatan yang menduduki jabatan wakil presiden. Jika Kamala menjadi calon dari Partai Demokrat dan berhasil mengalahkan kandidat Partai Republik Donald Trump pada bulan November, ia akan menjadi wanita pertama yang menjabat sebagai presiden AS.
Sementara Gretchen saat ini menjabat sebagai Gubernur Michigan. Dia seorang wanita berusia 57 tahun yang sebelumnya adalah seorang pengacara, pendidik, mantan jaksa, Anggota DPR dan Senator Negara Bagian. Namun, perjalanan politik Kamala atau Gretchen bisa terbentur oleh fakta bahwa sejarah AS yang berusia 248 tahun tidak pernah memiliki presiden perempuan.
Setelah pengalaman Hillary Clinton selama pemilihan umum 2016, nampaknya mayoritas warga AS tidak begitu mendukung gagasan memiliki presiden perempuan, setidaknya selama masa hidup mereka. Studi Pew Research baru menemukan bahwa hanya sejumlah kecil warga AS yang menyatakan penting bagi mereka untuk melihat seorang perempuan terpilih sebagai presiden selama masa hidup mereka. Hanya 18% yang menganggap hal tersebut sangat penting, sementara mayoritas 64% tidak terlalu penting atau sama sekali tidak penting. Adapun sisanya tidak memiliki pandangan yang jelas terkait hal tersebut.