Selama bertahun-tahun, aktivitas penambangan di Bangka dikelola oleh PT Timah, perusahaan milik negara. Namun, dalam lebih dari satu dekade terakhir, tambang ilegal mulai menjamur, merusak ekosistem sekitar. Para penambang ilegal seringkali mengeksploitasi area yang sebenarnya diperuntukkan bagi hutan lindung atau kawasan reklamasi perusahaan.
Dampak Tambang Ilegal terhadap Habitat Buaya
Buaya muara (Crocodylus porosus), yang merupakan spesies paling sering menyerang manusia, biasanya hidup di sekitar muara sungai. Aktivitas penambangan ilegal di daerah ini mengganggu habitat mereka, memaksa buaya untuk bermigrasi ke lokasi lain. Namun, ketika mereka tiba di wilayah baru, sering kali tempat tersebut sudah dihuni oleh buaya lain, sehingga terjadi persaingan sengit yang mendorong buaya-buaya ini mendekati pemukiman manusia.
Menurut Langka, buaya muara adalah spesies terbesar di antara jenisnya, mampu tumbuh hingga 7 meter dengan berat hampir 1.000 kg. Mereka memiliki pendengaran yang sangat sensitif dan terganggu oleh suara bising akibat aktivitas penambangan. "Kadang mereka menyerang penambang ilegal, atau bermigrasi ke hilir. Namun, saat mereka tiba di tempat baru, wilayah itu sering kali sudah dihuni buaya lain," jelasnya.
Akibatnya, terjadi pertempuran antarbuaya untuk memperebutkan wilayah, dan beberapa di antaranya akhirnya masuk ke area perkotaan. Di Bangka sendiri, terdapat sekitar 97 sungai yang melintasi daerah pemukiman, termasuk di Pangkalpinang, ibu kota provinsi Bangka Belitung. Dengan kondisi air yang keruh akibat pencemaran dari tambang timah, keberadaan buaya sering kali sulit dideteksi.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas pertambangan juga mulai merambah ke laut, semakin memperburuk kondisi ekosistem sungai dan daerah pesisir. Hal ini mendorong buaya keluar dari habitat alaminya dan meningkatkan kemungkinan interaksi berbahaya dengan manusia.