Mendaki gunung bukan sekadar petualangan, tetapi juga aktivitas penuh risiko. Perlu persiapan matang, pengetahuan dasar, serta kewaspadaan tinggi agar tidak terjadi kecelakaan fatal seperti kasus terbaru di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Juliana Marins, seorang pendaki asal Brasil, dilaporkan meninggal dunia setelah terjatuh di sekitar kawasan Danau Segara Anak, saat hendak mencapai puncak Rinjani. Peristiwa ini menjadi pengingat keras bahwa aktivitas mendaki, meskipun sering dianggap aman, tetap menyimpan bahaya yang tak boleh diremehkan.
Risiko Pendakian yang Sering Diremehkan
Menurut Outside Online, setiap tahunnya sekitar 40 juta orang mengunjungi kawasan pegunungan Alpen di ketinggian lebih dari 6.500 kaki. Sebagian besar datang untuk mendaki, meski tidak semua memiliki pengalaman atau kondisi fisik yang memadai.
Secara statistik, kecelakaan fatal memang tergolong kecil secara persentase. Sebuah studi di Prancis menunjukkan bahwa hanya 4% kecelakaan di jalur pendakian berujung kematian. Namun, kecelakaan pada pendakian gunung salju naik jadi 20%, dan pada aktivitas seperti BASE-jumping bahkan mencapai 47%.
Akan tetapi, jika dilihat dari total kematian olahraga di Swiss, pendakian justru menjadi penyebab utama, mencakup 25% dari seluruh kasus, dibandingkan dengan 17% dari pendakian gunung, 8% dari ski, dan hanya 1,8% dari BASE-jumping.
Turun Gunung Justru Lebih Berbahaya
Fakta mengejutkan: lebih dari 75% kecelakaan jatuh terjadi saat menuruni gunung, bukan saat mendaki. Sisanya, 20% terjadi saat pendakian naik dan 5% di medan datar.
Ada sejumlah alasan logis mengapa turun gunung lebih berisiko:
-
Tubuh sudah lelah akibat mendaki sebelumnya.
-
Otot paha depan bekerja ekstra keras secara eksentrik saat menahan beban saat turun.
-
Pendaki cenderung melangkah lebih cepat tanpa sadar.
-
Fokus mulai menurun karena merasa sudah “berhasil” mendaki.