Di Amerika Serikat, dampak dari penipuan siber ini terasa sangat besar. Pada 2023 saja, lebih dari USD 5,6 miliar atau sekitar Rp94,3 triliun hilang akibat penipuan terkait mata uang kripto. Sebagian besar penipuan ini menggunakan modus operandi seperti "pig-butchering" dan pendekatan berkedok hubungan romantis untuk menipu korban. Kelompok rentan, terutama orang tua, menjadi target utama dalam aksi penipuan ini. Modus ini telah membuktikan kemampuannya dalam menggaet korban dalam jumlah besar dengan cara yang sangat licik.
Razia besar yang dilakukan oleh pihak berwenang di kawasan perbatasan Thailand-Myanmar berhasil mengungkap sebagian besar operasi sindikat ini. Beberapa minggu lalu, otoritas Thailand memutus aliran listrik, bensin, dan akses internet ke komplek-komplek yang digunakan oleh sindikat untuk melakukan operasinya. Namun, meskipun mendapat tekanan, sindikat ini cepat beradaptasi dan memindahkan operasi mereka ke daerah-daerah yang lebih terpencil di Asia Tenggara, seperti Laos, Myanmar, dan Kamboja, yang memiliki tingkat korupsi tinggi serta sistem hukum yang lemah.
Fenomena ini semakin berkembang dengan meluasnya operasi sindikat ke wilayah Afrika, termasuk Zambia, Angola, Namibia, dan Eropa Timur, seperti Georgia. Sindikat ini juga semakin canggih dalam hal perekrutan tenaga kerja, dengan merekrut individu dari lebih dari 50 negara untuk terlibat dalam penipuan ini. Hal ini memperlihatkan betapa jaringan ini telah berubah menjadi industri internasional yang sangat sulit diatasi.
Meskipun razia yang berhasil menyelamatkan ratusan korban dari lebih dari 50 negara telah dilakukan, upaya tersebut masih jauh dari cukup untuk memberantas seluruh jaringan penipuan internasional ini. UNODC menegaskan bahwa komunitas kriminal internasional ini berada di titik kritis. Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, konsekuensinya bisa sangat merugikan bagi Asia Tenggara dan negara-negara lain di seluruh dunia.