Sebenarnya, Apple sempat mendapatkan ruang napas saat tarif tinggi sebesar 145% untuk berbagai produk elektronik dari China ditangguhkan sementara selama 90 hari. Penangguhan ini merupakan hasil kesepakatan dagang antara AS dan China yang dicapai di Jenewa, Swiss. Namun, jeda tersebut tidak berlangsung lama. Kali ini, Trump secara eksplisit menargetkan industri perangkat elektronik, termasuk Apple, dengan tarif baru yang lebih terfokus.
Dampak dari ancaman tarif ini tidak hanya mengganggu stabilitas saham para pemasok Apple di China, namun juga menimbulkan keresahan di internal perusahaan. Apple kini harus berpacu dengan waktu untuk menyusun strategi baru agar tidak kehilangan pasar utamanya di Amerika Serikat.
Seperti diketahui, Apple sebelumnya telah menyusun rencana untuk mempercepat pemindahan produksi iPhone dari China ke India dengan target operasional penuh pada tahun 2026. Akan tetapi, dengan ancaman tarif terbaru dari Trump, perusahaan berbasis di Cupertino ini harus mempertimbangkan opsi lain, termasuk membuka fasilitas produksi di Amerika.
Trump menegaskan bahwa Apple diperbolehkan untuk memindahkan fasilitas produksi ke India. Namun jika produk tersebut kemudian dijual di AS, maka tetap akan dikenakan tarif impor 25%. Dengan kata lain, satu-satunya cara untuk menghindari beban tarif tersebut adalah memproduksi iPhone langsung di dalam negeri AS.
Situasi ini mencerminkan kompleksitas dalam dinamika geopolitik dan ekonomi global saat ini. Apple berada di persimpangan antara efisiensi biaya produksi di Asia dan tekanan kebijakan proteksionis dari pemerintah AS. Perusahaan harus berhati-hati dalam mengambil langkah ke depan, karena setiap keputusan akan mempengaruhi tidak hanya rantai pasok global mereka, tetapi juga harga jual produk di pasar, margin keuntungan, dan citra perusahaan di mata publik serta investor.