Dengan masuknya lapisan masyarakat yang lebih mampu daripada penduduk asli, kota-kota menghadapi dilema sosial. Komunitas yang selama ini ada terancam hilang, sehingga menciptakan kehilangan identitas. Artinya, kebijakan publik harus siap menjawab tantangan ini dengan mempertimbangkan batasan antara pengembangan ekonomi dan kebutuhan masyarakat lokal. Tidak jarang, pemerintah kota terjebak dalam konflik antara memberikan izin bagi pengembangan baru dan melindungi hak-hak penduduk asli.
Proses gentrifikasi juga sering kali memengaruhi karakter politik di kawasan perkotaan. Ketika segmen-segmen baru dalam masyarakat mulai mengambil alih, mereka dapat membawa perubahan dalam kebijakan, prioritas alokasi sumber daya, dan integrasi sosial. Munculnya kelompok kepentingan baru ini sering kali mempengaruhi keputusan politik di tingkat lokal, yang dapat meninggalkan suara penduduk asli yang lebih rentan. Akibatnya, ketimpangan kekuasaan diperparah, dan kebijakan mungkin lebih menguntungkan untuk pendatang baru dibandingkan dengan masyarakat lama.
Studi tentang ekonomi perkotaan menunjukkan bahwa gentrifikasi tidak bisa dilihat secara sepihak. Pemasukan dari pajak yang diperoleh dari investasi baru sering kali digunakan untuk meningkatkan layanan publik, namun hal ini sering kali tidak mencakup semua lapisan masyarakat. Dalam banyak kasus, terciptalah kesenjangan yang semakin lebar. Oleh karena itu, penting bagi para pemangku kepentingan, termasuk pembuat kebijakan, pengembang, dan komunitas, untuk berdialog dan mencari cara yang dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.