Tampang.com | Saat sekolah di kota besar sudah mulai menerapkan pembelajaran digital dan kurikulum modern, ribuan sekolah di daerah terpencil masih berkutat dengan bangunan reyot, kekurangan guru, bahkan tanpa listrik. Ketimpangan pendidikan ini menjadi ironi besar di tengah semangat pemerataan yang selalu dikampanyekan pemerintah.
Sekolah Reyot, Guru Minim, dan Buku Lusuh
Di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, satu guru harus mengajar empat kelas karena kekurangan tenaga pengajar. Murid belajar di ruang kelas yang atapnya bocor dan dindingnya bolong. Tidak ada laboratorium, tidak ada akses internet, bahkan air bersih pun sulit.
“Kadang kami harus berteduh di bawah pohon kalau hujan deras,” kata Maria, siswi kelas 5 SD di Lembata.
Ketimpangan Digital dan Akses Teknologi
Saat sekolah kota mendapat bantuan Chromebook dan akses WiFi, sekolah di pelosok bahkan belum punya listrik stabil. Hal ini membuat anak-anak desa semakin tertinggal secara digital, padahal tuntutan zaman semakin bergeser ke arah teknologi.