Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai fenomena Rojali bukanlah hal baru. Walau demikian, keberadaan tren ini semakin kentara pasca-pandemi Covid-19. Menurut Bhima, kelas menengah di Indonesia kini semakin terjepit oleh biaya hidup yang terus melonjak, terutama inflasi yang mempengaruhi harga pangan, perumahan, dan suku bunga yang tinggi. Di kondisi seperti ini, mereka memilih untuk ke mall sebagai bentuk rekreasi, bukan belanja.
Bhima menambahkan, penghasilan kelas menengah semakin tergerus oleh cicilan dan inflasi, sehingga fokus mereka lebih kepada memenuhi kebutuhan dasar. Pusat perbelanjaan kini lebih banyak menawarkan barang-barang sekunder dan tersier, seperti produk fesyen dan barang mewah, yang kurang menarik bagi mereka. "Mall sekarang sering kali menjadi tempat untuk cuci mata," cetusnya.
Melihat apa yang terjadi, Bhima meyakini bahwa perubahan perilaku belanja ini juga didorong oleh kemudahan yang ditawarkan oleh toko online. "Kami tidak melihat tanda-tanda pemulihan dalam waktu dekat. Oleh karena itu, pusat perbelanjaan harus beradaptasi untuk bertahan," lanjut Bhima. Ia meyakini bahwa mal yang berfokus pada pengalaman kuliner dan rekreasi keluarga adalah yang paling mungkin untuk bertahan.
Prediksi Bhima menyatakan bahwa tren Rojali ini mungkin akan terus berlanjut hingga tahun 2026. Beliau mengingatkan bahwa kondisi perekonomian yang menghadapi tantangan seperti perang dagang, potensi PHK di sektor padat karya, dan daya beli yang semakin menurun akan mengurangi ruang belanja di kalangan kelas menengah.