Menariknya, meskipun kemarau 2025 diprediksi lebih singkat dari biasanya, namun ada 26% wilayah yang justru mengalami kemarau dengan durasi lebih panjang, terutama di beberapa bagian Sumatera dan Kalimantan.
Rekomendasi Strategis untuk Sektor Vital
BMKG juga memberikan sejumlah rekomendasi penting bagi sektor-sektor vital, khususnya pertanian, agar tidak terdampak parah oleh perubahan musim ini. Dwikorita menyarankan agar petani menyesuaikan jadwal tanam sesuai dengan prakiraan awal musim kemarau di wilayah masing-masing.
Selain itu, pemilihan varietas tanaman yang tahan kekeringan serta optimalisasi pengelolaan air menjadi kunci agar produktivitas tetap terjaga. Untuk wilayah yang justru mengalami kemarau yang lebih basah, ini bisa menjadi peluang meningkatkan produksi dan memperluas lahan tanam, tentunya dengan perhatian terhadap potensi serangan hama.
Masuk Musim Kemarau Tapi Masih Hujan, Kok Bisa?
Fenomena yang cukup membingungkan terjadi di berbagai daerah, terutama di wilayah Jabodetabek. Meskipun secara resmi sudah memasuki musim kemarau, hujan masih cukup sering turun, bahkan dalam intensitas tinggi.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa kondisi ini terjadi karena saat ini Indonesia berada dalam fase pancaroba, yakni masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Pada fase ini, intensitas hujan memang masih cukup tinggi, namun tidak merata di seluruh wilayah.
“Hujan yang terjadi umumnya dipicu oleh konvergensi dan labilitas lokal kuat yang mendorong proses pembentukan awan secara konvektif,” jelas Guswanto kepada CNBC Indonesia.
Apa Itu Konvergensi dan Labilitas Lokal?
Konvergensi adalah pertemuan massa udara dari dua arah yang berbeda, yang menyebabkan udara terdorong naik dan akhirnya memicu pembentukan awan hujan. Awan-awan ini bisa menghasilkan hujan dengan intensitas ringan hingga lebat, bahkan disertai petir dan angin kencang.