Selanjutnya, laporan juga mengungkap bagaimana JD Vance menjadi penentang utama terhadap paket bantuan baru ke Ukraina pada musim semi lalu. Michael McFaul, Direktur Institut Kajian Internasional Freeman Spogli, menyoroti bahwa langkah Trump untuk mengajak Vance sebagai pasangannya mencerminkan bahwa akan ada perubahan dalam kebijakan luar negeri AS jika mereka terpilih. Perbedaan pendekatan yang jelas terlihat antara dua calon presiden, Joe Biden-Harris dan Trump-Vance, dengan yang pertama lebih menekankan demokrasi dan menentang otokratisme, sementara yang terakhir lebih condong ke arah otoritarianisme.
JD Vance sendiri pernah menyatakan bahwa persoalan Ukraina tidaklah cukup penting bagi AS. Pernyataan ini tentu menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi Ukraina yang sedang menghadapi konflik dengan Rusia. Lebih dari itu, Vance juga menyampaikan pandangannya tentang Vladimir Putin, Presiden Rusia, yang dinilainya bukanlah ancaman bagi Eropa. Penilaian ini tentu mengundang kekhawatiran dan menyiratkan bahwa kebijakan luar negeri Trump-Vance akan lebih ramah terhadap Rusia daripada pendahulunya.
Tak hanya terkait Ukraina, Vance juga menunjukkan pendiriannya yang tegas terhadap penanganan konflik Gaza oleh pemerintahan Presiden Joe Biden. Vance menyebut bahwa Amerika harus memberikan keleluasaan kepada Israel untuk menyelesaikan tugasnya tanpa banyak campur tangan dari AS. Pernyataan ini menambah kekawatiran akan sikap AS yang terlalu mendukung satu pihak dalam konflik tersebut.