Hal ini menciptakan ilusi kebaikan yang berbahaya. Seseorang dapat terlihat sangat baik hati ketika mereka memberikan sumbangan, tetapi jika niat di baliknya hanya untuk pencitraan atau keuntungan pribadi, maka tindakan tersebut tidak lagi memiliki nilai sejati. Dalam konteks ini, kebaikan sejati menjadi jarang ditemukan, dan kita lebih sering terjebak dalam persepsi daripada realitas.
Persoalan ini juga mencerminkan bagaimana masyarakat menilai nilai diri. Sering kali, kita menilai nilai diri kita dari seberapa baik kita terlihat di mata orang lain. Hal ini membuat kita cenderung untuk berbuat baik dengan cara yang dapat dilihat dan dihargai. Padahal, kebaikan sejati sering kali terjadi dalam kesunyian, jauh dari sorotan publik. Kebaikan yang tulus adalah ketika kita membantu tanpa berharap untuk diapresiasi, ketika niat kita murni dan tindakan kita tidak terikat pada kepentingan diri.
Dengan berkembangnya budaya pencitraan ini, kita harus mulai mengingat kembali nilai-nilai dasar kebaikan. Kebaikan sejati tidak hanya tentang tindakan yang kita lakukan, tetapi juga tentang niat dan bagaimana tindakan tersebut mempengaruhi orang lain. Masyarakat perlu menyadari bahwa tidak semua kebaikan perlu diungkapkan atau dipamerkan. Terkadang, tindakan kecil yang dilakukan dengan penuh ketulusan jauh lebih berarti daripada aksi besar yang hanya untuk mendapat sorotan.