multitasking seringkali dianggap sebagai keahlian. Rasanya keren bisa membalas email sambil ikut rapat online, atau mendengarkan podcast sambil bersih-bersih rumah. Kita diajarkan bahwa melakukan banyak hal sekaligus adalah kunci produktivitas. Padahal, otak manusia sebenarnya tidak didesain untuk multitasking sejati. Apa yang kita sebut multitasking itu lebih mirip dengan rapid task-switching atau perpindahan tugas secara cepat. Dan di balik ilusi produktivitas ini, ada sejumlah bahaya tersembunyi yang jarang kita sadari.
Produktivitas Palsu dan Menurunnya Kualitas Kerja
Salah satu bahaya paling mendasar dari multitasking adalah menurunnya kualitas kerja dan produktivitas yang sebenarnya. Saat mencoba mengerjakan beberapa hal sekaligus, otak tidak benar-benar memprosesnya secara paralel. Sebaliknya, otak kita berganti fokus dari satu tugas ke tugas lain dengan sangat cepat. Setiap kali berpindah tugas, ada biaya kognitif yang timbul. Otak perlu "memuat ulang" informasi dan konteks tugas yang baru, dan ini memakan waktu serta energi.
Akibatnya, pekerjaan yang dihasilkan seringkali tidak optimal. Kesalahan menjadi lebih sering terjadi, detail penting bisa terlewat, dan hasil akhir terasa kurang mendalam. Bayangkan seorang koki yang mencoba memasak lima hidangan berbeda sendirian dalam waktu bersamaan; kemungkinan besar ada hidangan yang gosong atau bumbunya kurang pas. Jadi, daripada menjadi super-efficient, multitasking justru bisa memperlambat proses dan mengurangi standar kualitas kerja secara signifikan.
Meningkatnya Tingkat Stres dan Kelelahan Mental