"Penggelapan, sekecil apa pun nilainya, bisa menggerus kepercayaan masyarakat terhadap layanan transportasi publik, terutama yang dikelola pemerintah," bunyi pernyataan resmi dari Mahkamah Agung Jepang.
Keputusan ini pun menimbulkan diskusi luas di media sosial Jepang dan internasional, memicu perdebatan antara prinsip keadilan yang tegas versus pendekatan yang lebih manusiawi terhadap pelanggaran kecil.
Tak hanya kasus penggelapan ongkos, catatan internal perusahaan mengungkapkan bahwa sopir tersebut juga tercatat beberapa kali melakukan pelanggaran ringan, seperti mengisap rokok elektrik saat sedang bertugas, meskipun saat itu bus dalam keadaan kosong. Meski demikian, manajemen perusahaan menganggap akumulasi dari pelanggaran-pelanggaran ini cukup untuk menjatuhkan sanksi pemecatan.
Sementara itu, sang sopir sempat mengajukan banding dengan alasan bahwa tindakannya tidak merugikan perusahaan dalam jumlah besar dan dilakukan karena tekanan hidup. Namun Mahkamah Agung tetap menolak banding tersebut dan menegaskan bahwa tindakan itu tidak dapat ditoleransi.