Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, mengatakan di belahan dunia mana pun transportasi massal menggunakan tarif tunggal lantaran pelayanan yang diberikan sama untuk semua penumpang. Komunitas pengguna KRL, Jalur 5 Community dan KRL Mania, juga menyatakan menolak skema subsidi berbasis NIK mengingat data masyarakat miskin di Indonesia amburadul dan rentan salah sasaran.Merespon berbagai kritik tersebut, Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan "belum ada keputusan final terkait perubahan skema subsidi KRL dari PSO menjadi berbasis NIK.
Kritik dan penolakan atas rencana pemerintah untuk menetapkan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) masih disuarakan warganet di media sosial.Di X bertebaran poster penolakan dengan narasi "Sudah sesak tambah dipalak, tolak skema subsidi KRL berbasis NIK".
Mayoritas komentar yang berseliweran menyatakan ketidaksetujuan terhadap wacana perbedaan tarif. Sebab transportasi umum seharusnya terbuka untuk siapa pun serta mudah diakses oleh masyarakat luas tanpa memandang kelas ekonomi. Misael S, salah satu pendiri Jalur 5 Community, termasuk yang tak setuju kalau rencana itu dijalankan karena dianggap tidak jelas landasannya dan bisa memicu keributan.
"Di mana-mana transportasi massa itu tarifnya satu dan sama, mau kaya atau miskin enggak dibeda-bedakan. Jadi saya bingung dan kaget akan ada pemisahan tarif subsidi bagi yang kurang mampu, padahal layanannya sama," ujar Misael.
Misael merupakan pengguna setia KRL. Saban hari dia mengandalkan kereta komuter Jabodetabek untuk berangkat dan pulang kerja dari Jakarta ke Tangerang. Kereta komuter dipilih karena bebas macet dan ongkosnya murah.
"Ada sih transportasi altenatif lain ke Tangerang, tapi macet di jalan tol. Jadi mau enggak mau, naik kereta komuter."
Ia bercerita sejak wacana akan adanya skema baru penetapan tarif kereta komuter berbasis NIK, para pengguna KRL Jabodetabek resah. Mereka khawatir bisa memicu pertengkaran antar-sesama penumpang nantinya. Sebab para penumpang yang menerima subsidi akan diminta mengalah dan mendahulukan yang non-subsidi.
"Bisa-bisa terjadi keributan di dalam kereta, karena ada dualisme tarif itu. Sekarang aja data orang kurang mampu atau miskin rawan disalahgunakan. Apalagi cuma kereta?"
Pengurus KRL Mania, Nur Cahyo, juga sependapat. Kata dia, penerapan tarif berdasarkan NIK tidak akan tepat sasaran. Sementara konsep transportasi umum adalah layanan yang diberikan kepada semua orang tanpa memandang kemampuan ekonomi atau domisi penggunanya.
"Masak naik kereta komuter disamain sama bansos? Heran saya... terlalu kreatif yang bikin kebijakan," ucapnya.
"Harusnya pemerintah bersyukur adanya kereta komuter ini orang-orang kelas menengah mau pindah dari kendaraan pribadi ke transportasi publik, bukan malah direcokin," sambungnya.
Semua keributan ini bermula dari terungkapnya dokumen Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025. Dalam dokumen yang diserahkan pemerintah kepada DPR untuk dibahas bersama itu tercantum beberapa perbaikan yang akan dilakukan untuk skema Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) Kereta Api, Salah satunya adalah perbaikan pada sistem tiket elektronik KRL Jabodetabek, yang disebutkan perbaikan akan dilakukan dengan menggunakan tiket elektronik berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi pengguna KRL.