Tampang

Gaduh Rencana Penetapan Tarif KRL Berbasis NIK, Bagaimana Mekanismenya dan Mengapa Dinilai Tidak Tepat Sasaran?

4 Sep 2024 18:10 wib. 206
0 0
Gaduh Rencana Penetapan Tarif KRL Berbasis NIK, Bagaimana Mekanismenya dan Mengapa Dinilai Tidak Tepat Sasaran?
Sumber foto: Google

Tujuan dari penerapan skema itu "agar subsidi yang diberikan lebih tepat sasaran," kata Juru bicara Kemenhub Adita Irawati. Namun demikian, menurut Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub, Risal Wasal, skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK belum akan diberlakukan dalam waktu dekat. Ia pun tidak memberikan spesifik waktu kapan perubahan mekanisme ini akan diterapkan. Yang jelas Kemenhub, klaimnya, masih membuka ruang diskusi untuk menerima berbagai masukan dari akademisi maupun masyarakat untuk menilai kebijakan baru tersebut. Sehingga harapannya, tidak akan memberatkan pengguna layanan KRL.

Pengamat transportasi yang juga Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, mengatakan Pasal 66 UU BUMN mengamanatkan kepada pemerintah untuk melaksanakan Public Service Obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik. Bentuk PSO yang diberikan pemerintah untuk transportasi umum khususnya kereta komuter, kata Herlambang, adalah "menanggung selisih harga" biaya produksi atau sarana kereta api.

Ia mencontohkan biaya produksi untuk satu penumpang dengan jarak 25 kilometer bisa mencapai Rp20.000. Namun karena pemerintah memberikan subsidi PSO, maka tarif yang dikenakan kepada pengguna hanya Rp3.000.

"Jadi pemerintah mensubsidi satu orang Rp17.000. Mahal memang, tapi kan ada benefitnya [keuntungan]," ujar Herlambang.

Keuntungan yang dimaksudnya itu antara lain bisa mengurangi kemacetan, mengurangi emisi karbon alias polusi, hingga mengurangi angka kecelakaan di jalan raya. Itu mengapa baginya pemberian PSO untuk transportasi publik harus digelontorkan sebanyak-banyakanya. Tujuannya agar makin banyak orang beralih menggunakan transportasi umum. Karena bagaimanapun dananya berasal dari pajak rakyat.

"Nah bagaimana kalau semisal orang bayar pajak lalu justru naik angkutan umum subsidinya dicabut? Itu kan masalah."

Herlambang mendesak pemerintah agar mengubur dalam-dalam alias mencabut skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Sebab penetapan tarif yang berbeda-beda hanya memicu benturan bahkan konflik sosial. Menurutnya, pemberian Public Service Obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik harus tetap diberlakukan sembari pemerintah membuat kajian soal penyesuaian tarif yang wajar.

Diakuinya tarif yang saat ini berlaku memang "tidak lagi ideal" yakni Rp3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan ditambah Rp1.000 untuk setiap 10 kilometer. Besaran tarif itu belum naik sejak 2016 sampai sekarang. Sementara inflasi terus naik dan infrastruktur seperti stasiun semakin baik dan nyaman, katanya.

"Memang harus ada penyesuaian tarif dan enggak masalah asal pelayanan juga sudah baik," ucapnya.

Soal besaran tarif, Herlambang memperkirakan kenaikan yang tidak memberatkan pengguna antara Rp2.000 - Rp3.000. Tapi dia menekankan agar kenaikan itu tidak dilakukan dalam waktu dekat apalagi tahun 2025. Ini karena menurutnya, meski pelayanannya semakin baik tapi sarana dan prasarananya masih terbatas.

Dia mencontohkan lantaran banyak kereta komuter yang rusak, akibatnya jumlah rangkaian gerbong yang beroperasi tidak pernah penuh 12 rangkaian. Sekarang satu gerbong cuma delapan atau sepuluh saja yang beroperasi dan itu pun jarak lintasannya lima sampai sepuluh menit sekali. Jadi masih belepotan layanannya Nanti setelah kereta-kereta baru dari China dan INKA datang, silakan kalau mau negosiasi penyesuaian tarif tahun 2026. 

#HOT

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Indonesia Menuju Indonesia Emas atau Cemas? Dengan program pendidikan rakyat seperti sekarang.