Dalam forum yang sama, Igun Wicaksono, Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia, menggarisbawahi bahwa potongan aplikasi menjadi beban terberat bagi mitra driver. Ia mengungkapkan bahwa banyak aplikator yang masih memotong penghasilan driver lebih dari 20%, bahkan dalam beberapa kasus bisa mendekati 50%.
“Bayangkan, 365 hari dikali tiga tahun terakhir, berapa triliun uang yang telah mereka ambil dari pengemudi roda dua,” ungkap Igun dengan nada kecewa.
Igun menambahkan, tuntutan mereka sebenarnya sederhana: batasi potongan aplikasi maksimal 10%. Namun hingga kini, belum ada regulasi atau kebijakan konkret dari pemerintah maupun aplikator untuk mengakomodasi permintaan tersebut.
Ia menegaskan bahwa jika tuntutan ini tidak dipenuhi hingga akhir Mei 2025, maka para pengemudi dari seluruh Indonesia siap untuk kembali menggelar aksi demonstrasi besar-besaran.
Aksi damai yang telah digelar pada 20 Mei 2025 lalu dinilai belum membuahkan hasil. Meski berjalan tertib, pertemuan dengan pihak-pihak terkait tidak menghasilkan keputusan tegas.
"Tuntutan kami belum digubris. Jadi kami beri waktu sampai akhir bulan. Kalau tetap tak ada perubahan, kami akan konsolidasi nasional dan melakukan aksi lebih besar," ucap Igun.
Ia juga menyebut bahwa aksi offbid massal pada 20 Mei lalu telah berdampak besar bagi aplikator. Menurut data dari badan kajian internal, aksi tersebut menyebabkan kerugian hingga Rp187 miliar hanya dalam satu hari.
“Kalau aplikator masih mengabaikan, kami siap bikin mereka lebih rugi lagi. Ini bukan ancaman, tapi peringatan,” tegasnya.
Selain isu tarif dan potongan, para driver juga mengeluhkan lemahnya penegakan regulasi yang ada. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 118 Tahun 2018 yang selama ini hanya dianggap sebagai dokumen mati, tanpa penerapan nyata di lapangan.