Pakar etika AI dari Vatikan, Paolo Benanti, mengatakan bahwa Gereja mengajak dunia untuk “menatap langit, tetapi tetap berpijak pada realitas zaman.” Pernyataan ini mencerminkan keseimbangan antara keterbukaan terhadap teknologi dan keharusan menjaga prinsip kemanusiaan.
Sementara itu, Prof. Maria Savona, pakar dari bidang ekonomi dan teknologi, menyampaikan kekhawatiran akan dampak AI terhadap kelompok pekerja dengan keterampilan rendah. Menurutnya, mereka yang paling mungkin menjadi korban pertama dari gelombang otomatisasi dan pengambilan keputusan berbasis algoritma.
Dalam pernyataannya, Prof. Savona juga menegaskan bahwa jaringan Gereja Katolik yang tersebar di berbagai negara berkembang dapat menjadi kekuatan pendorong agar akses terhadap teknologi AI menjadi lebih demokratis dan regulasinya tidak hanya berpihak pada negara-negara maju.
Kecemasan tersebut bukan tanpa alasan. AI kini tak hanya menjadi alat bantu kerja, tetapi mulai memasuki ruang-ruang kehidupan manusia secara menyeluruh—dari industri, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan. Tanpa kerangka regulasi etis dan hukum yang jelas, AI bisa mengikis nilai-nilai kemanusiaan, memperlebar jurang ketimpangan sosial, bahkan mengancam hak asasi manusia.
Yang menarik, seruan keras Vatikan ini datang di saat sejumlah negara justru sedang merevisi pendekatan regulasi mereka. Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, misalnya, memilih untuk membongkar regulasi AI yang lama, bahkan menggulirkan dana raksasa senilai setengah triliun dolar untuk pengembangan teknologi AI dan perangkat kerasnya. Langkah ini dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk deregulasi yang bisa memberi ruang pada ekspansi AI tanpa kontrol yang memadai.