Aqiqah adalah salah satu tradisi penting dalam Islam yang banyak dijalankan umat Muslim sebagai wujud syukur atas kelahiran seorang anak. Prosesnya melibatkan penyembelihan hewan ternak—dua ekor kambing atau domba untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan—serta mencukur rambut bayi dan memberikan nama. Namun, di tengah pemahaman ini, sering muncul pertanyaan: apakah pelaksanaan aqiqah itu harus benar-benar dilakukan saat bayi masih sangat kecil, atau ada kelonggaran waktu?
Dasar Hukum dan Waktu Pelaksanaan Ideal
Secara umum, aqiqah dipahami sebagai bentuk sunnah muakkadah, artinya amalan sunnah yang sangat dianjurkan. Dasar hukumnya berasal dari berbagai hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satu hadis yang populer menyebutkan: "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan (hewan) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i).
Dari hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa waktu yang paling utama atau ideal untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Hari ketujuh dihitung sejak hari kelahiran. Misalnya, jika bayi lahir pada hari Senin, maka hari ketujuhnya adalah hari Ahad. Jika kelahiran terjadi di malam hari (setelah magrib), sebagian ulama menghitungnya sebagai hari berikutnya.