Di sebuah emperan masjid, sehabis sholat maghrib, terlihat Sukamto dan Cak Munir mengobrol asyik…
Cak Munir : “Alhamdulillah ya… banyak saudara-saudara kita di kampong ini yang sudah menyempurnakan Islam-nya dengan ibadah haji ke Baitulloh. Semoga bisa menambah berkah Alloh SWT atas kampung kecil nan damai sejahtera ini!!” (bergumam di sebelah Sukamto)
Sukamto : “Aamiiin… Cak!!” (mengiringi lafadz aamiiin-nya Cak Munir)
Cak Munir : “Saya jadi rindu dengan suasana sejuknya thowaf di Baitulloh, berdebar-debarnya hati saat sa’i Shofa-Marwah, cucuran peluh kenikmatan saat berdoa dan berdzikir di padang Arofah dan semangat membara ketika melempar jumroh ‘Aqobah, Wustho dan Ula… hmmmh…” (melanjutkan gumamannya)
Sukamto : “Memangnya Cak Munir sudah haji ya??” (menceletuk penasaran)
Rasa penasaran Sukamto hanya dibalas pelan seraya menundukkan kepala oleh Cak Munir.
Cak Munir : “Alhamdulillah…”
Sukamto : “Ta… Tapi… Tapi kok Cak Munir nggak dipanggil Abah atau Pak Haji???” (mengejar pertanyaan saking kaget dan penasarannya)
Cak Munir : “Hehehe… Lucu kamu, To!!” (tertawa kecil)
Sukamto : “Yeee… Orang Tanya malah diketawain !!” (mulai kesal)
Cak Munir : “Iya… Iya… Nanti kalau sudah saatnya akan saya jawab kok, To.” (semakin membuat Sukamto penasaran)
Sukamto : “Halah Cak, sampean itu kayak ukhti-ukhti di pesantren aja, bikin penasaran.” (dengan muka masam)
Disaat Sukamto mulai menunjukkan kekesalannya, Cak Munir mengalihkan pembicaraan. Cak Munir muali beraksi…
Cak Munir : “Sudah… Sudah… Btw, kamu sendiri apa nggak kepingin memperkokoh pondasi Islam-mu?? Enak lo ibadah haji itu!!
Apalagi kamu sudah lulus S-2, bayaran sebagai dosen udah lumayan, rumah juga sudah punya kan?! Sudah saatnya lah kamu mengkhususkan diri untuk Alloh…”
Sukamto : “Ya… Pengen juga lah, Cak… Tapi ya itu… MAHAL BANGET!!! Antreannya juga lama…Lagipula haji itu kan bagi yang mampu, Cak!!!” (dengan nada tinggi)
Cak Munir : “Walah To… To... Mahal itu berapa she ?”