Tragedi Lapindo yang terjadi pada tahun 2006 menjadi salah satu bencana industri terburuk di Indonesia, meninggalkan luka mendalam bagi para korban dan keluarga mereka. Pemandangan lumpur panas yang terus meluap dari sumur gas Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, merupakan saksi bisu dari dampak lingkungan yang parah dan kerugian yang tak terukur bagi masyarakat sekitar. Lumpur, yang menjadi ciri khas dari tragedi ini, bukan hanya merusak infrastruktur dan lingkungan, tetapi juga mengubah tatanan sosial dan ekonomi bagi ribuan orang yang terdampak.
Dari sudut pandang korban, tragedi ini adalah cekungan penuh kesedihan dan ketidakpastian. Ribuan penduduk harus meninggalkan rumah dan tanah mereka, yang dulunya menjadi sumber penghidupan. Banyak di antara mereka yang kehilangan pekerjaan, sementara yang lainnya terpaksa menyesuaikan diri dengan kehidupan di permukiman yang tidak layak dan jauh dari kampung halaman. Korban tragedi Lapindo menyimpan harapan dan keresahan yang mendalam, berharap agar keadilan dapat ditegakkan dan mereka memperoleh kompensasi yang layak atas kerugian yang dialami.
Namun, dalam lingkup yang lebih besar, tragedi Lapindo juga menunjukkan kompleksitas hubungan antara korporasi, negara, dan masyarakat. PT Lapindo Brantas, sebagai perusahaan yang terlibat, menghadapi berbagai tuntutan dan kritik terkait penanganan insiden ini. Meskipun harus bertanggung jawab atas bencana yang ditimbulkannya, banyak pihak merasa bahwa tanggung jawab tersebut tidak ditunaikan dengan baik. Korporasi seolah lepas tangan, meninggalkan korban dalam keadaan rentan dan tanpa dukungan yang memadai.