Di sisi lain, peran negara dalam mengatasi krisis ini juga dipertanyakan. Begitu banyak waktu berlalu, namun proses rehabilitasi dan kompensasi bagi para korban sering kali dianggap lambat dan tidak transparan. Kebijakan yang seharusnya melindungi masyarakat justru terkesan mengabaikan keberpihakan terhadap mereka yang terdampak. Negara, dalam hal ini, terlihat diam dan tidak berdaya menghadapi kekuatan korporasi yang mendominasi. Situasi ini membawa para korban dalam kondisi serba tidak pasti, di mana harapan akan keadilan semakin pudar.
Dalam konteks lebih luas, tragedi Lapindo mencerminkan kegagalan sistemik yang ada dalam pengelolaan sumber daya alam dan industri di Indonesia. Ketidakpuasan yang dirasakan oleh banyak masyarakat terhadap keputusan yang diambil, baik oleh korporasi maupun pemerintah, menunjukkan adanya kesenjangan antara teori dan praktik. Korban yang terdampak merasa terpinggirkan dalam proses penyelesaian masalah, menambah rasa frustrasi yang tidak kunjung usai.
Selama bertahun-tahun, banyak organisasi non-pemerintah (NGO) maupun masyarakat sipil yang terlibat aktif dalam advokasi untuk mendukung korban tragedi Lapindo. Mereka bersatu untuk menuntut keadilan dan mendorong masyarakat untuk tidak melupakan para korban. Rasa solidaritas ini menunjukkan bahwa meskipun negara dan korporasi mungkin diam, suara rakyat tetap berusaha untuk didengar.