Tak dapat dipungkiri bahwa simbol agama dapat menjadi jembatan untuk menjalin koneksi emosional dengan pemilih. Penggunaan simbol ini memicu rasa identitas yang kuat, dan bagi sebagian orang, mendukung kandidat yang terlihat "religius" menjadi representasi dari dukungan mereka terhadap nilai-nilai keagamaan. Dalam hal ini, simbol agama berfungsi sebagai alat komunikasi yang powerful. Kandidat yang berhasil menggunakan simbol-simbol ini dengan baik dapat memperoleh dukungan yang signifikan dari massa.
Namun, muncul juga risiko penyalahgunaan. Ketika simbol agama digunakan semata-mata untuk kepentingan politik, tanpa mempertimbangkan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya, hal ini bisa memicu konflik. Masyarakat berpotensi merasa terjebak dalam permainan ideologis yang tidak tulus. Di tengah tantangan kompleksitas identitas sosial dan politik, pencitraan menggunakan simbol agama dapat menciptakan polarisasi di kalangan pemilih, di mana sekelompok orang merasa lebih unggul sementara kelompok lain merasa terpinggirkan.
Keberadaan simbol agama dalam spanduk politik juga sering kali berfungsi untuk mempertajam perbedaan. Dalam konteks yang lebih luas, mereka bisa memperkuat garis batas antara "kami" dan "mereka". Dalam masyarakat yang sudah terfragmentasi oleh perbedaan, pencitraan yang mengandalkan simbol agama ini memiliki potensi untuk memperburuk keadaan. Masyarakat yang lebih konservatif mungkin merasa bahwa hanya kandidat dengan simbol yang dikenal yang berhak mendapatkan dukungan, sedangkan yang lain dianggap kurang mampu memahami dan mewakili aspirasi spiritual mereka.