Dalam dunia politik, terutama di negara dengan keragaman budaya dan agama seperti Indonesia, penggunaan simbol agama dalam kampanye politik dan spanduk merupakan fenomena yang menarik untuk dieksplorasi. Simbol-simbol ini sering kali digunakan sebagai alat pencitraan dan menjadi bagian integral dari identitas para kandidat. Namun, penggunaan simbol agama tidak selalu mencerminkan niat yang tulus; sering kali, ia digunakan untuk menarik dukungan dari kelompok tertentu.
Simbol agama dalam spanduk politik dapat mengambil berbagai bentuk, dari tulisan ayat-ayat suci hingga gambar yang berkaitan dengan tradisi keagamaan. Misalnya, calon yang berlatar belakang Islam mungkin menggunakan kaligrafi atau gambar masjid dalam kampanyenya. Hal ini tidak hanya bertujuan untuk menunjukkan kedekatan mereka dengan masyarakat Muslim, tetapi juga untuk memperkuat citra positif si kandidat di mata pemilih. Dengan menonjolkan simbol-simbol ini, calon tersebut berusaha untuk menciptakan identitas yang relevan dengan nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat yang ingin mereka jangkau.
Penggunaan simbol agama dalam politik juga menimbulkan pertanyaan etis. Banyak kalangan berpendapat bahwa hal ini mengurangi esensi spiritual dari simbol-simbol tersebut, menjadikannya sebagai alat propaganda. Pencitraan yang dilakukan dengan memakai simbol agama sering kali tidak mencerminkan komitmen kandidat terhadap nilai-nilai yang diwakili oleh simbol tersebut. Ini menimbulkan kesan bahwa ada ketidaksinambungan antara apa yang mereka tunjukkan di publik dan apa yang mereka jalankan dalam kehidupan sehari-hari.