Pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa presidential threshold dinilai tidak lagi relevan dan efektif dalam menyaring calon presiden yang berkualitas. Seiring dengan perkembangan dinamika politik dan opini publik yang semakin berkembang pesat, keberadaan presidential threshold dianggap sebagai hambatan yang menghambat proses demokratisasi. MK berpendapat bahwa dalam sebuah sistem demokrasi, seharusnya masyarakat memiliki hak untuk memilih siapapun yang dianggap paling layak dan kompeten untuk menjadi pemimpin, tanpa adanya pembatasan yang berlebihan.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga turut mempertimbangkan pengalaman di negara lain yang telah menghapus presidential threshold dan memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi politik masyarakat. Dengan mengacu pada berbagai praktik demokrasi di berbagai negara, MK mengambil kesimpulan bahwa menghapus presidential threshold dapat memberikan dorongan positif terhadap dinamika politik dalam negeri, serta mendorong semakin banyak kandidat berkualitas yang ikut serta dalam pesta demokrasi.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi akhirnya mengambil keputusan untuk menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, yang menjadi langkah monumental dalam sejarah politik Indonesia. Keputusan ini diharapkan dapat membuka ruang yang lebih luas bagi partisipasi politik masyarakat serta menegaskan komitmen untuk mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif dan partisipatif.