Entah siapa yang mengkreasikan skenario konyol soal konspirasi Sukamiskin yang malah membuahkan senjata makan tuan bagi SBY sendiri. Dan, dengan lewat isu ini, SBY diseret menuju killing ground.
Sudah semestinya SBY tidak gampang percaya kepada para pembisik yang berkeliaran di sekelilingnya. Buktinya, informasi yang dipasok pembisik SBY kalah akurat dengan artikel ini.
Mungkin SBY juga perlu lebih banyak lagi mencari informasi tentang kehidupan para napi di Sukamiskin. Kalau Anas mengatakan “Mudah banget untuk membuktikan pertemuan itu fakta atau hoax. Ada CCTV, buku tamu dan banyak warga yg bisa ditanya. *abah. Anas tidak salah. Karena tidak akan ditemukan rekaman CCTV, buku tamu di Sukamiskin yang dapat membuktikan adanya pertemuan tersebut.
Lagipula, kalau pun benar-benar terjadi, apa mungkin pertemuan itu digelar di Sukamiskin? Di Kompasiana ini saja ada sejumlah anggotanya yang mengetahui kehidupan di Sukamiskin. Bahkan bisa jadi informasi yang ditulis dalam laporan investigasi Majalah Tempo bersumber dari salah satu kompasianer.
Karenanya, jika SBY menyebutnya sebagai perang, maka SBY harus lebih berhati-hati setiap kali melontarkan pernyataannya. Terlebih jika pernyataan tersebut cenderung bersifat menyerang, seperti pernyataan soal adanya konspirasi Sukamiskin.
SBY pastinya menyadari jika saat ini keberpihakan media terlalu kentara. Perhatikan saja saat media ramai-ramai mengekspos pengakuan La Nyalla. Berapa media yang memberitakannya? Berapa kali satu media memberitakannya? Sebaliknya, berapa banyak media yang memberitakan bantahan La Nyalla atas pengakuannya sendiri? Dan, berapa kali media tersebut memberitakannya?
Di sisi lain media lebih memilih mengemparkan dunia dengan berita tentang motor chopper yang baru dibeli Jokowi ketimbang menyoroti kelaparan yang terjadi di Asmat, Papua.
Lebih parah lagi. Baru terjadi di era pemerintahan Jokowi di mana pelaku kejahatan justru dicari-cari kebaikannya. Sebaiknya, korban kejahatan justru di-blow up kejelekannya. Contohnya adalah kasus pembacokan Hermansyah. Media menuliskan tentang pandangan positif warga terhadap pelaku pembacokan Hermansyah. Sebaliknya, media menggembar-gemborkan gosip yeng menyebut istri Hermansyah sebagai mantan PSK.
Pemberitaan media pastinya menimbulkan sentimen positif atau negatif. Sayangnya, porsi sentimen negatif lebih besar ditujukan kepada SBY ketimbang sentimen positif.
Tetapi, apa pun itu, dalam perang ini SBY harus sanggup memanfaatkan segala situasi dan kondisi yang dihadapinya. Termasuk jika kelak Ibas terbukti menerima uang hasil korupsi e-KTP dan memakai rompi orange.
Ini adalah perang asimetris yang harus dihadapi SBY. Dan, berkaca dari kekonyolan informasi tentang adanya konspirasi Sukamiskin plus surat yang mengatasnamakan Mirwan Amir, sudah waktunya bagi SBY untuk mengatur ulang strategi perangnya. Jika tidak, SBY akan menjadi sasaran empuk lawan-lawannya.
Dan, SBY pun tidak perlu malu-malu untuk meniru strategi perang Prabowo memilih bungkam saat serangan menerjangnya. Kalau pun gatal untuk tidak bicara, setidaknya SBY tidak gampang turun gunung.