Dalam konteks yang lebih luas, banyak pihak menilai bahwa Omnibus Law bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial. Sejumlah akademisi dan aktivis menyampaikan bahwa meskipun tujuan dari Omnibus Law adalah untuk meningkatkan iklim investasi dan menciptakan lapangan kerja, implementasi kebijakan ini cenderung lebih memihak kepada pemodal ketimbang kepada buruh. Hal ini berkaitan langsung dengan pengurangan hak-hak buruh dalam kontrak kerja dan penghilangan sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan ketenagakerjaan.
Salah satu aspek yang paling ditentang dalam Omnibus Law adalah ketentuan mengenai pemotongan cuti dan jam kerja. Dengan adanya ketentuan ini, buruh merasa tidak akan mendapatkan hak-hak profesional mereka secara utuh. Banyak dari mereka khawatir bahwa cuti dan jam kerja yang lebih fleksibel bagi perusahaan justru akan menciptakan eksploitasi yang lebih masif terhadap karyawan. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang masih tidak stabil pasca-pandemi COVID-19.
Tidak hanya buruh, elemen masyarakat lainnya, termasuk NGO, akademisi, dan mahasiswa, turut berpartisipasi dalam protes ini. Mereka menilai bahwa Omnibus Law seharusnya melibatkan diskusi yang lebih luas dengan semua stakeholder. Tanpa mengakomodasi aspirasi semua pihak, keputusan yang diambil hanya akan memperparah kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.