Zimbabwe, sebuah negara yang dulunya dianggap sebagai "Jewel of Africa," kini terjebak dalam krisis yang berkepanjangan. Banyak yang merasa terkejut dengan perubahan drastis yang terjadi, terutama setelah kepemimpinan Robert Mugabe. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi perjalanan Zimbabwe dari harapan menjadi krisis ekonomi yang parah di bawah tangan seorang diktator.
Sejak meraih kemerdekaan pada tahun 1980, Zimbabwe diimpikan menjadi salah satu negara terbaik di Afrika, dengan sumber daya alam yang melimpah dan potensi pertanian yang besar. Robert Mugabe, sebagai pemimpin awal zaman merdeka, diharapkan mampu memimpin negara ini menuju kesejahteraan. Namun, harapan tersebut mulai memudar seiring berjalannya waktu.
Krisis ekonomi yang melanda Zimbabwe dimulai pada dekade 1990-an. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Mugabe, terutama dalam hal nasionalisasi pertanian, telah menyebabkan dampak yang menghancurkan. Pada awal tahun 2000, pemerintah Zimbabwe memulai kebijakan untuk merampas lahan pertanian yang dimiliki oleh pemilik kulit putih. Upaya tersebut yang seharusnya mempromosikan redistribusi lahan justru berujung pada kehancuran sektor pertanian. Banyak petani berpengalaman diusir dari lahan mereka, menyebabkan produksi pangan menurun drastis.
Akibat dari kebijakan ini, Zimbabwe mengalami inflasi yang sangat tinggi, bahkan salah satu yang terburuk dalam sejarah dunia. Mata uang Zimbabwe, dolar Zimbabwe, kehilangan nilainya dengan sangat cepat. Kenaikan harga barang sehari-hari menjadi tak terkendali, dan masyarakat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Krisis ekonomi yang terparah ledakan dalam sektor kesehatan dan pendidikan, serta memicu masalah sosial yang berkepanjangan.