Sejak Pilgub DKI 2017, PKS memang identik dengan hoax. Bahkan, akun Twitter yang dimiliki mantan Presiden PKS, Tiftatul Sembiring, diketahui sudah 2 kali menyebarkan informasi hoax. Belum lagi akun yang dioperasikan oleh Mustofa Nahra dan Jonru Ginting.
Padahal, sejumlah akun yang diduga kuat dimiliki oleh kader PKS dan situs-situs yang juga diduga kuat dikelola oleh kader PKS diketahui telah menyebarkan konten kebencian atas dasar SARA dan hoax jauh hari sebelum Pilpres 2014.
Dan, pada saat Pilgub DKI 2012, sejumlah akun dan situs yang diduga kuat dimiliki oleh kader PKS baru menyebarkan ujaran penuh kebenciannya dan hoax setelah memasuki putaran kedua, Hal ini diduga setelah Jokowi menolak sejumlah mahar yang dimintakan PKS.
Pada saat Pilpres 2012, Prabowo berserta Gerindra yang dipimpinnya mendukung pasangan Jokowi-Ahok. Otomatis, saat itu ujaran-ujaran penuh kebencian dan hoax juga ditujukan kepada Prabowo.
Jadi, ujaran kebencian dan hoax yang dilakukan oleh Harsono tidak ada hubungannya dengan dengan dukungan PKS kepada Prabowo. Dengan kata lain, didukung atau tidaknya Prabowo oleh PKS, ujaran penuh kebencian dan hoax tetap akan dilontarkan oleh sejumlah akun dan situs yang diduga dimiliki oleh kader PKS.
Tetapi, patut diketahui juga jika ada sejumlah akun yang diduga dimiliki oleh kader PKS yang menentang keras penyebaran hoax dan ujaran penuh kebencian yang dilontarkan oleh akun-akun dan situs-situs yang diduga kuat milik kader PKS. Hanya saja suara penolakan itu kalah nyaring hingga tidak terdengar gaungnya.
Dengan demikian, semakin jelas jika opini yang mengaitkan Prabowo dengan Saracen sangatlah lemah. Apalagi jika mengaitkan Saracen dengan SBY.
Seperti kasus makar, kasus Saracen pun pada mulanya disasarkan ke arah SBY. Dan, sebagaimana kasus makar, kasus Saracen kemudian digeser ke arah Prabowo.
Sebenarnya, penemuan proposal yang konon dikirim sindikat Saracen merupakan poin terunik dari kasus ini. Sebab, bagaimana mungkin dana yang dibutuhkan oleh sebuah organisasi kriminal dimintakan dengan berkirim proposal.
Bukankah itu sama saja dengan memudahkan pihak yang berwajib meringkus komplotan ini. Sebab bisa saja proposal yang dikirim Saracen itu kemudian dilaporkan ke Polisi.
Lebih dari itu, adakah pihak yang tertarik menggunakan jasa saracen setelah membaca isi dari proposal yang diterimanya? Sebab, jangankan untuk menggunakan jasanya, untuk melakukan komunikasi awal dengan Saracen pun pastinya sudah sangat beresiko.
Namun demikian, kejanggalan-kejanggalan yang ada pada kasus Saracen bukan berarti kasus ini hasil rekayasa. Kasus ini masih sangat dangkal dikarenakan Polri masih mengumpulkan bukti-bukti terkait kasus ini. Atau, bisa juga karena Polri belum atau tidak mengungkapkan seluruh temuan yang didapatnya.
Apa pun itu, kasus Saracen tetap menimbulkan pertanyaan, siapakah otak yang memainkan isu jahat lewat pendirian “pengusaha” konten hoax dan penyebar kebencian berlandaskan SARA ini? Dan, pertanyaan iinilah yang pastinya tidak akan pernah terjawab.
Di-copas dari http://www.kompasiana.com/gatotswandito/59ae180cc744dd778c290d62/benarkah-prabowo-terkait-saracen