Sengketa lahan yang melibatkan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara telah menjadi isu yang berkepanjangan dan kompleks. Presiden Prabowo disebut-sebut bakal mengambil alih penanganan kisruh ini, namun pertanyaannya adalah, apakah keputusan presiden cukup untuk menyelesaikan sengketa ini? Pengamat dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, mengungkapkan pandangannya bahwa peran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sangat krusial dan jangan berhenti hanya pada sikap Presiden.
Keputusan presiden memang memiliki pengaruh yang besar dalam upaya penyelesaian sengketa lahan ini. Namun, karakter sengketa yang melibatkan batas daerah otonomi daerah tidak dapat diselesaikan hanya dengan keputusan administratif. Masalah ini lebih dari sekadar keputusan di tingkat pusat; ia menyentuh mata rantai kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat lokal.
Sengketa lahan di empat pulau ini mencakup Pulau Berhala, Pulau Pandang, Pulau Simuk, dan Pulau Rusa. Masing-masing pulau ini memiliki keunikan dan potensi yang berbeda, baik dari segi sumber daya alam maupun sosial ekonomi. Ketegangan muncul dari klaim yang saling bertentangan antara Aceh dan Sumatera Utara, yang berakar dari sejarah panjang perbedaan administrasi dan politik. Oleh karena itu, hanya mengandalkan keputusan presiden sebagai solusi akan menjadi langkah setengah hati.