Sama seperti saat merampok CIMB Medan, pelaku penyerangan Mapolsek Hamparan Perak yang berjumlah 10 orang berbekal senjata laras panjang dan menggunakan sepeda motor sebagai kendaraannya.
Ketika itu, polemik soal identitas pelaku perampokan menjadi lebih seru lagi setelah beredarnya kabar burung tentang rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan mengganti Kapolri.
Saat itu setidaknya ada dua kelompok besar di lingkungan Polri yang berupaya menempatkan “kadernya” menjadi Tribrata 1. Gesekan kedua kelompok ini terus menguat sampai kemudian SBY memunculkan nama Timur Pradopo yang sebelumnya tidak pernah disebut sama sekali.
“Status” pelaku kejahatan kembali diperdebatkan setelah sekelompok orang bersenjata yang disebut Polri sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB) menyandera 1.300 warga di Desa Kimberli dan Banti, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua pada awal November 2017.
Pengacara Hak Asasi Manusia Veronica Koman Vero mengatakan bahwa KKB yang dimaksud kepolisian adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM).
“Kepolisian mengganti TPN dengan KKB untuk justifikasi dan tujuan tertentu, ” katanya (Sumber: Tempo.co).
Seperti pada kasus perampokan Bank CIMB Medan, “status” pelaku kejahatan beriringan dengan institusi pemegang kewenangan: Densus 88 atau Polda Sumut. Demikian juga dengan “KTP” pelaku penyanderaan warga di Papua, Karena berstatus pelaku kriminal, Polri-lah yang berwenang menuntaskannya. Tetapi, jika pelakunya dinyatakan sebagai TPN-OPM maka kewenangan berada di tangan TNI.
Masalahnya, kasus perampokan Bank CIMB Medan tidak sama dengan kasus penyanderaan warga di Papua. Kalau di Medan, apa pun status pelakunya, kasus perampokan tetap menjadi urusan domestik. Tetapi, tidak demikian dengan pelaku penyanderaan di Papua.
Jika pelaku penyaderaan dinyatakan sebagai TPN-OPM, maka sama saja pemerintah dan Polri telah melempar kasus ini ke dunia luar, Itu sama saja dengan memancing kelompok pro-separatis Papua untuk ikut cawe-cawe.
Dengan menyebut pelaku penyanderaan sebagai KKB, pemerintah dan Polri telah melokalisasi kasus ini hanya sebagai kasus kriminal biasa. Karena itulah, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, Polri, dan TNI tidak banyak menyampaikan komentarnya seperti ketika milisi Abu Syayaf menyandera ABK asal Indonesia pada April 2016.
Selain itu, setiap kasus penyanderaan pastinya ditangani dengan caranya masing-masing. Jika banyaknya pernyataan justru menambah ancaman terhadap korban, pastinya para pemegang kewenangan lebih memilih untuk bungkam ketimbang banyak cakap.