Pernahkah merasakan keinginan untuk menguap setelah melihat orang lain melakukannya, atau mendapati diri ikut tertawa terbahak-bahak meskipun tidak tahu apa yang lucu? Fenomena menguap menular dan tertawa menular adalah pengalaman universal yang membangkitkan rasa ingin tahu ilmuwan selama bertahun-tahun. Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan cerminan dari koneksi neurologis dan sosial yang mendalam dalam diri kita.
Menguap adalah respons fisiologis yang umum, sering dikaitkan dengan rasa kantuk atau kebosanan. Namun, mengapa kita ikut menguap saat orang lain menguap, bahkan jika kita tidak merasa lelah sama sekali? Ini adalah jenis menguap yang disebut menguap simpatik atau menguap menular.
Penelitian ilmiah telah mengindikasikan bahwa menguap menular terkait erat dengan empati dan koneksi sosial. Semakin dekat hubungan emosional seseorang dengan penguap (misalnya, anggota keluarga, teman dekat), semakin besar kemungkinan individu tersebut akan ikut menguap. Sebuah studi bahkan menunjukkan bahwa anak-anak di bawah usia empat tahun (yang kemampuan empatinya belum sepenuhnya berkembang) cenderung tidak mengalami menguap menular.
Teori yang paling diterima saat ini adalah bahwa menguap menular adalah bentuk dari ekopraksia atau ekolalia, yaitu peniruan gerakan atau ucapan orang lain secara otomatis. Dalam konteks ini, otak secara tidak sadar merespons sinyal sosial dan emosional dari orang lain. Area otak yang diduga terlibat dalam fenomena ini adalah korteks prefrontal ventromedial dan bagian dari sirkuit cermin neuron, yang berperan dalam pemahaman dan peniruan tindakan orang lain.