Pernyataan senada datang dari Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (BEM FKUI), Muhammad Thoriq. Ia menilai bahwa jika kolegium dikendalikan pemerintah, risiko politisasi sangat besar dan hal itu justru berpotensi merusak kualitas keilmuan yang selama ini dijaga para ahli. “Kolegium seharusnya diisi oleh para ahli yang kompeten, bukan oleh pejabat atau birokrat yang tidak relevan dengan bidangnya,” ujar Thoriq.
Kolegium kedokteran sendiri merupakan badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk mengawasi disiplin ilmu kedokteran tertentu. Anggotanya terdiri dari guru besar, ketua program studi, dan para pakar pendidikan kedokteran.
Dari sisi pemerintah, Kementerian Kesehatan beralasan pengaturan kolegium perlu dilakukan untuk menghindari monopoli elite tertentu yang selama ini menguasai organisasi profesi. Staf Khusus Menteri Kesehatan, Rendi Witular, menyatakan, “Sebelumnya, kolegium dikuasai oleh segelintir elite yang menentukan kurikulum dan standar pelayanan. Oleh karena itu, sudah seharusnya kewenangan ini berada di tangan pemerintah.”
Isu pengambilalihan kolegium juga memicu kontroversi internal. Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim B. Yanuarso, mengaku dimutasi karena menolak kebijakan tersebut. Namun, Kemenkes membantah tuduhan perampasan, menegaskan bahwa kolegium memang secara hukum berada di bawah pengawasan negara.