Berkaitan dengan berbagai isu yang berperan munculnya #IndonesiaGelap, krisis LPG hanyalah satu faktor kecil. Berbagai masalah lain turut memperkuat narasi "Indonesia Gelap", termasuk kasus hukum yang menarik perhatian publik seperti konflik terkait Pagar Laut dan PIK 2, yang pada awalnya tidak mendapat sorotan tetapi meningkat seiring berjalannya waktu. Kontroversi di institusi kepolisian juga kian menambah beban frustrasi masyarakat, menciptakan akumulasi ketidakpuasan yang semakin sulit untuk dipendam.
Peneliti sosial, Fahmi, menceritakan bahwa perbandingan kondisi kini sangat kontras dengan saat pemilihan umum presiden tahun 2019, di mana tagar yang muncul umumnya berkaitan langsung dengan pilpres. Kini, kondisi sosial dan politik membuat satu tagar, yaitu Indonesia Gelap, menjadi signifikan dan lebih luas dalam tandanya—seolah menjadi lingua franca untuk semua isu yang mengganggu masyarakat.
Memasuki babak lebih lanjut, gelombang frustrasi publik akan situasi sosial dan ekonomi di Indonesia terus meluas, didorong oleh berbagai isu yang saling terkait. Misalnya, program bantuan makan gratis yang seharusnya memberi manfaat malah memicu peningkatan anggaran negara. Hal ini berkonsekuensi pada dipecatnya banyak karyawan, akibat strategi efisiensi dan rasionalisasi tenaga kerja, yang membuat banyak orang tua kesulitan membuat lempeng makanan bagi anak mereka.
Cerita-cerita menyentuh tentang kehilangan pekerjaan dan kesulitan memberi makan anak-anak membuat keprihatinan publik semakin mendalam. “Banyak sekali kisah kegelisahan masyarakat,” tegas Fahmi lagi. Situasi ini diperparah dengan adanya ketidakpastian tentang keamanan dan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum. Muncul pula ketakutan di kalangan masyarakat mengenai sektor keuangan, misalnya terkait peluncuran Danantara pada Februari 2025 lalu yang mengundang perbincangan di media sosial.