Sebagai contoh, kota Pagar Alam dan Sabang, yang pada tahun 2023 juga menempati peringkat rendah (81 dan 85 dari total 94 kota yang diteliti), menunjukkan kasus menarik. Di kedua kota ini, tidak ditemukan adanya kebijakan yang diskriminatif atau peristiwa intoleran yang menonjol.
Namun, meskipun minimnya insiden intoleransi, ekosistem toleransi di dua kota ini belum benar-benar terbukti matang. Ini berarti bahwa toleransi belum menjadi bagian integral dari visi pembangunan atau kebijakan promotif yang secara aktif didorong oleh pemerintah kota.
Halili menjelaskan lebih lanjut, bahwa ketiadaan semangat pemajuan toleransi terlihat dari kurangnya visi toleransi dalam rencana pembangunan, absennya kebijakan promotif toleransi yang kuat, serta kinerja pemerintah yang belum menunjukkan inisiatif nyata dalam menggerakkan masyarakat menuju toleransi yang lebih baik.
Sementara itu, stagnansi kebijakan dan kurangnya keinginan untuk menjadi lebih toleran juga menjadi faktor utama yang membuat beberapa kota lain menempati peringkat bawah. Kota-kota seperti Cilegon, Banda Aceh, Pekanbaru, dan Lhokseumawe, berdasarkan pantauan SETARA Institute, belum menghadirkan inovasi berarti, baik dalam bentuk program maupun kebijakan, untuk memajukan toleransi.
“Meskipun terus diupayakan dan sudah lama memiliki ruang-ruang komunikasi dialogis yang baik antaragama dan etnis, tetapi nyatanya terhambat oleh kebijakan pemerintah kota,” kata Halili, menggarisbawahi bahwa dialog saja tidak cukup tanpa dukungan kebijakan yang memadai dari pemerintah daerah.