Situasi semakin memanas pada 30 Oktober 1945 ketika Brigadir Jenderal Mallaby, komandan militer Inggris, tewas di dalam mobilnya saat melintasi Jembatan Merah. Peristiwa ini membuat Inggris semakin marah. Mayor Jenderal Robert Mansergh kemudian mengeluarkan ultimatum yang memerintahkan seluruh pemimpin Surabaya untuk menyerahkan diri dan memaksa rakyat Indonesia menyerahkan senjata mereka. Namun, ultimatum tersebut ditolak mentah-mentah oleh rakyat Surabaya yang siap mempertahankan kemerdekaan hingga titik darah penghabisan.
Pertempuran ini dipimpin oleh pahlawan legendaris, Sutomo, yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo, pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Melalui pidatonya yang penuh semangat, Bung Tomo terus meneriakkan seruan "Merdeka atau Mati!" yang memotivasi para pejuang untuk terus berjuang.
Pertempuran tersebut berlangsung selama tiga minggu dan meninggalkan banyak korban. Diperkirakan sekitar 20.000 rakyat Indonesia gugur dalam pertempuran ini, sementara pihak sekutu kehilangan sekitar 1.500 tentaranya. Angka ini mencerminkan keteguhan rakyat Surabaya dalam melawan penjajah, bahkan dengan jumlah korban yang besar.
Sebagai penghargaan atas perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan oleh para pahlawan, maka pada tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional, yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 pada 16 Desember 1959. Melalui peringatan ini, para pahlawan yang gugur dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia diabadikan sebagai inspirasi bagi generasi masa kini dan mendatang. Mereka memberi teladan akan semangat pantang menyerah dan keberanian yang harus dijunjung tinggi oleh setiap warga negara Indonesia.