Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Wamenko Kumham Imipas), Otto Hasibuan, dengan tegas menyampaikan pendapatnya mengenai revisi Undang-Undang (UU) Hak Cipta. Menurutnya, langkah ini sangat penting karena dapat memberikan kepastian hukum terkait royalti untuk semua pihak, baik itu pencipta lagu, masyarakat umum, konsumen, maupun pengguna lagu di kafe dan restoran.
Otto menjelaskan bahwa UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah menunjukkan kekurangan, terutama dalam hal yang sangat mendasar, yaitu ketidakjelasan mengenai regulasi royalti. Dia menegaskan bahwa terdapat kekosongan hukum terkait sanksi pidana yang harus diterapkan jika suatu pihak tidak melakukan pembayaran royalti. "Ini memerlukan kejelasan. Situasi seperti ini tidak bisa dibiarkan," ujar Otto saat diwawancarai seusai acara LAWASIA Belt and Road Initiative and Employment Law Conference 2025 yang berlangsung di Jakarta.
Ia menekankan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam UU Hak Cipta, setiap pengusaha yang memutar lagu di ruang publik komersial diwajibkan untuk membayar royalti. Pembayaran royalti ini seharusnya ditangani oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Namun, dalam prakteknya, menurut Otto, terdapat kasus di mana tidak hanya LMKN yang meminta royalti, tetapi juga sering kali pencipta lagu itu sendiri yang ikut meminta pembayaran royalti.