Suku Baduy, masyarakat adat yang tinggal di pedalaman Pegunungan Kendeng, Banten, seringkali menarik perhatian karena ketaatan mereka pada adat istiadat leluhur. Namun, tak banyak yang tahu kalau Suku Baduy ini tidak homogen. Mereka terbagi dua kelompok besar yang punya perbedaan mencolok dalam banyak hal, yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar. Memahami perbedaan ini penting untuk mengapresiasi keunikan dan kekayaan budaya mereka secara utuh, bukan cuma dari kulit luarnya saja.
Tingkat Ketaatan pada Aturan Adat
Perbedaan paling mendasar antara Baduy Dalam dan Baduy Luar terletak pada tingkat ketaatan mereka terhadap pikukuh (aturan adat). Masyarakat Baduy Dalam, yang bermukim di tiga kampung inti (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik), adalah pemegang teguh adat yang paling ketat. Mereka sangat membatasi diri dari pengaruh dunia luar dan teknologi modern. Kehidupan mereka diatur oleh serangkaian larangan (buyut) yang sangat ketat, yang bertujuan untuk menjaga kesucian dan keaslian tradisi.
Sebaliknya, Baduy Luar, yang tersebar di kampung-kampung di sekitar wilayah Baduy Dalam, sedikit lebih terbuka. Mereka masih memegang adat, tapi dengan fleksibilitas yang lebih besar. Perubahan dan adaptasi terhadap dunia luar lebih bisa diterima oleh Baduy Luar, asalkan tidak melanggar prinsip dasar adat yang fundamental. Perbedaan ini bisa diibaratkan seperti lingkaran konsentris, dengan Baduy Dalam sebagai inti yang paling murni dan Baduy Luar sebagai lapisan pelindung yang lebih lentur.
Pakaian dan Penampilan Fisik
Salah satu cara termudah membedakan Baduy Dalam dan Baduy Luar adalah dari pakaian yang mereka kenakan. Laki-laki Baduy Dalam selalu memakai pakaian adat berwarna putih polos dengan ikat kepala putih. Pakaian putih ini melambangkan kesucian dan kemurnian. Kain yang digunakan juga adalah hasil tenun sendiri, tanpa jahitan mesin. Mereka juga dilarang menggunakan alas kaki, sehingga kemana pun mereka pergi, kaki telanjang adalah pemandangan biasa. Rambut mereka dipanjangkan dan tidak dipotong.