Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 73 persen jemaah haji Indonesia pada 2024 memiliki penyakit penyerta atau komorbid. Penyakit seperti pneumonia dan serangan jantung menjadi ancaman serius yang harus diwaspadai saat menjalankan ibadah di lingkungan yang menuntut kondisi fisik prima. Kondisi cuaca yang ekstrem, kepadatan jemaah, dan aktivitas fisik berat selama haji menjadi faktor risiko tambahan bagi para jemaah dengan penyakit kronis tersebut.
Selain itu, hampir separuh jemaah haji tahun ini berasal dari kelompok usia di atas 60 tahun. Fakta ini menambah kompleksitas dalam memberikan layanan kesehatan karena lansia umumnya memiliki daya tahan tubuh yang lebih rentan dan memerlukan perhatian medis khusus. Melihat fakta ini, Kementerian Kesehatan berupaya menyusun strategi terpadu agar risiko kematian dan komplikasi kesehatan dapat ditekan secara optimal, terutama saat puncak pelaksanaan ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
Salah satu strategi utama yang tengah disiapkan adalah pengintegrasian antara tenaga kesehatan dari Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi dan Tenaga Kesehatan Haji Kloter (TKHK) asal Indonesia. Menurut Direktur Jenderal Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes, Yuli Farianti, pendekatan ini akan membagi tim kesehatan menjadi delapan markaz atau pos kesehatan utama. Dokter spesialis akan berjaga secara bergiliran di markaz-markaz tersebut, memastikan pelayanan medis tersedia secara merata.
Selain itu, dokter dan perawat dari satu markaz akan diperbantukan ke markaz lain yang jumlah TKHK-nya sedikit namun melayani jumlah jemaah yang besar. Pendekatan ini dirancang untuk meningkatkan respons dan ketersediaan tenaga medis secara merata di seluruh lokasi ibadah, sehingga potensi komplikasi medis dapat diantisipasi dengan cepat.