struktur pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, seringkali muncul pertanyaan mengenai jabatan ganda. Apakah seorang pejabat publik boleh memegang lebih dari satu posisi sekaligus? Di satu sisi, ada argumen tentang efisiensi atau pemanfaatan keahlian langka. Di sisi lain, isu konflik kepentingan, beban kerja berlebih, dan potensi penyalahgunaan wewenang selalu menjadi kekhawatiran utama. Realitasnya, regulasi di Indonesia memberikan batasan yang ketat terhadap praktik jabatan ganda ini demi menjaga prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Prinsip Dasar Larangan Jabatan Ganda
Pada dasarnya, hukum di Indonesia, khususnya yang mengatur tentang kepegawaian dan penyelenggara negara, sangat membatasi praktik jabatan ganda. Larangan ini bukan tanpa alasan. Tujuannya jelas: menjaga objektivitas, mencegah konflik kepentingan, memastikan fokus kerja pejabat, dan memitigasi risiko korupsi. Ketika seseorang memegang dua atau lebih posisi yang saling bersinggungan atau memiliki otoritas yang luas, potensi untuk menggunakan salah satu jabatan demi keuntungan pribadi atau kelompok sangatlah besar.
Dasar hukum utama yang melarang jabatan ganda bagi aparatur sipil negara (ASN) dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). UU ini secara eksplisit melarang ASN merangkap jabatan di instansi lain, apalagi di luar lingkungan pemerintah yang bisa menimbulkan konflik kepentingan. Larangan ini bertujuan agar ASN dapat fokus sepenuhnya pada tugas dan fungsi pokoknya, yang merupakan amanah dari rakyat. Fokus penuh pada satu jabatan diharapkan dapat meningkatkan kinerja dan akuntabilitas.